December 27, 2024

BRN | JAKARTA – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Gelar Acara Presentasi dalam rangka peringatan Tuberkulosis Sedunia dengan tema “Yes We Can TB” , Jumat (24/3/2023) Secara Virtual.

Saat ini, Tuberkulosis (TB) masih menjadi ancaman kesehatan dunia. Paska pandemi tersebut terjadi peningkatan kasus TB di Indonesia, sehingga pada tahun 2022
Indonesia menduduki peringkat kedua negara dengan kasus TB tertinggi di dunia setelah India. Indonesia telah berjuang dan berkomitmen untuk mencapai target dan strategi eliminasi TB nasional pada tahun 2030. Hal tersebut dilakukan melalui upaya menurunkan angka angka insiden TB menjadi 65 per 100.000 penduduk dan menurunkan angka kematian TB menjadi 6 per 100.000 penduduk. Kendati demikian masih banyak kendala yang ditemui di lapangan dalam upaya eliminasi TB. Sebagai salah satu penyakit katastropik yang memerlukan pembiayaankesehatan tinggi, terdapat beberapa permasalahan yang dapat menghambat upaya eliminasi TB, yaitu:

1. Tingkat deteksi kasus yang rendah
2. Angka keberhasilan pengobatan yang belum mencapai target
3. Meningkatnya kasus TB Resisten Obat (RO)
4. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas TB dengan penyulit/komorbid
5. Rendahnya angka cakupan TPT pada ILTB
diperlukan upaya nyata baik dari anggota perhimpunan maupun dan masyarakat pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut.

UPAYA NYATA PDPI DALAM PENANGGULANGAN TB

Dengan semakin berkembangnya ilmu dan pengetahuan di bidang Penyakit Tuberkulosis, PDPI berkomitmen terus memberikan pelayanan Tuberkulosis
paripurna dengan terus memamatkan bauran swasta dalam rangka peningkatan pelayanan dan pengobatan kasus di masyarakat. PDPI terus mengembangkan dan mendukung penanganan Tuberkulosis yang lebih baik dari tingkat pusat dan perifer, pengembangan dan pengadaan alat dan teknologi baru dalam mendapatkan Tuberkulosis. PDPI juga terus melakukan penelitian dalam rangka pengembangan vaksin, obat-obatan Tuberkulosis dan ILT
terbaru agar dapat direkomendasikan kepada pemerintah untuk mencapai
target penurunan kasus 17% per tahun. PDPI juga senantiasa bersinergi dengan
perlindungan kesehatan dalam pembuatan panduan nasional penanggulangan TB di
Indonesia, berpartisipasi sebagai narasumber dalam pelatihan penanggulangan. TB, serta memberikan masukan dan saran mengenai pemecahan masalah program. Sebagai upaya penyelesaian masalah diatas tentu saja diperlukan komitmen dan kerjasama berbagai pihak baik dalam kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

1. Rendahnya case detection rate
Untuk meningkatkan case detection rate hal pertama yang harus dilakukan
adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai gejala TB
melalui edukasi. Edukasi dapat diberikan melalui media sosial dan elektronik sebagai sarana edukasi terbaik saat ini. Hal tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk seluruh anggota perhimpunan. Diharapkan melalui edukasi, masyarakat yang memiliki gejala lebih sadar untuk cepat datang memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Langkah kedua yang dapat dilakukan yaitu dengan active case finding. Indonesia
dengan berbagai ragam budaya tidak mungkin masih takut memeriksakan diri dan mendiagnosis TB akibat adanya stigma negatif masyarakat mengenai TBC. Disinilah peran active case finding yang dapat
dilakukan oleh seluruh paguyuban/ pemuka agama/ tokoh masyarakat/ komunitas/ kegiatan kesehatan yang ada di masyarakat. Penemuan kasus secara aktif dapat dilakukan bekerjasama dengan Fasyankes tingkat pertama melalui kegiatan posyandu, poskesdes, program ketuk pintu, jemput bola, dan lain sebagainya. Disarankan juga mengikutsertakan dharmawanita, kader, tokoh agama, pemuka masyarakat, perkumpulan.penyakit tertentu ( DM, ODHIV ,CKD, autoimun ) untuk membantu
kegiatan investigasi kontak dan skrening Tuberkulosis. Pada kelompok resiko tinggi seperti penghuni LAPAS, ODHIV, penderita DM, serta penyakit imunocompromized lain yang dilakukan skrening TB dan ILTB berkala. Tentu saja hal tersebut memerlukan SDM terlatih terutama dalam skrining dan pencatatan/pelaporan. Pelaksanaan kegiatan penanggulangan TB yang melibatkan masyarakat luas seperti pemberian penghargaan bagi desa dengan upaya penanggulangan TBC serta lomba lomba kegiatan kreatif penanggulangan TBC mungkin dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang besar bagi program. Pembuatan sistem seperti pedulin melindungi COVID -19 untuk penyakit TB yang memungkinkan untuk pelaporan mandiri dan memberikan alur petunjuk pengobatan sangat baik membantu program penemuan kasus TB. Untuk skrening dan deteksi dini diharapkan juga ketersediaan
alat diagnostik dan kemudahan aksesibilitas oleh masyarakat dapat ditingkatkan melalui penyediaan foto thoraks minimal, mesin TCM, dan Uji tuberkulin di seluruh puskesmas dan rumah sakit pemerintah di Indonesia, sekali lagi relokasi dana adalah pendukung terbesar seluruh program.

2. Angka keberhasilan pengobatan belum mencapai target Keberhasilan pengobatan harus ditunjang oleh pengobatan yang tepat dari tenaga kesehatan, kualitas dan ketersediaan obat sesuai standar,
kepatuhan pasien, tatalaksana efek samping obat yang mencukupi, dan adanya Video observasi terapi (VOT) serta sistem pendukung lainnya ( terutama keluarga ) untuk keberhasilan pengobatan pasien. Untuk meningkatkan kebutuhan tenaga kesehatan diperlukan pelatihan
irasional agar dapat memberikan pengobatan sesuai standar. Sangat disarankan setiap nakes sebaiknya memiliki sertifikat pelatihan TB sebagai salah satu prasyarat penerbitan SIP dan program TB menjadi salah satuprogram nasional sebagai kriteria akreditasi RS. Pemerintah
sebaiknya menyediakan obat dengan kualitas baik dan ketersediaan cukup
sehingga dapat meminimalisir terjadinya putus obat. Pengadaan logistik
harus disiapkan dengan perhitungan matang. Kepatuhan pasien dapat
ditingkatkan dengan memberikan penjelasan yang memadai serta
hubungan dokter pasien yang baik, jangan lupa meluangkan waktu untuk melakukan edukasi secara menyeluruh. Faktor lain yang juga besar pengaruhnya terhadap kepatuhan pengobatan adalah tatalaksana efek samping obat. Banyak pasien yang mengalami efek samping obat tidak mau lagi melanjutkan pengobatannya, Kembali lagi ilmu edukasi, pendampingan,
pengawasan ketat dan tatalaksana efek samping obat harus dimiliki oleh
anggota perhimpunan. Adanya VOT dan sistem pendukung sangat penting
terutama keluarga dekat untuk menunjang keberhasilan pengobatan. Untuk menurunkan angka loss to follow up dan meningkatkan kesembuhan, WHO sedang mengupayakan memperpendek pengobatan lama baik untuk TB Sensitif Obat ( SO ) maupun TB RO. Penggunaan regimen jangka pendek 2 HPMZ/ 2 HPM untuk TB SO dan BPal untuk TB RO akan segera direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan RI.

3. Meningkatnya kasus TB RO
Kasus TB RO saat ini semakin meningkat. Berdasarkan data Global
Tuberculosis Report 2020, terjadi peningkatan resistensi obat TB sebesar 10%
pada tahun 2019 dibandingkan tahun 2018. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
adanya berbagai penyakit pengobatan TB RO, yaitu pengobatan yang
lama, angka keberhasilan pengobatan rendah, serta mortalitas tinggi. Saat
ini mungkin satu satunya cara yang paling efektif untuk menanggulangi
peningkatan kasus TB RO adalah dengan menemukan dan mengobati
penderita sampai sembuh serta upaya pencegahan penularan penyakit.
Seperti yang kita ketahui bahwa penularan banyak terjadi di daerah padat
penduduk dan ventilasi buruk, tidak jarang juga pada transportasi umum,
sekolah, lapas, dan lain sebagainya. Edukasi pencegahan penularan
kepada masyarakat merupakan hal yang utama. Selain itu, pemerintah
juga sebaiknya membuat regulasi khusus mengenai pencegahan penularan
infeksi pernapasan di fasilitas publik yang padat dengan ventilasi buruk.
Sebagai upaya kuratif, diagnosa segera dan pengobatan yang tepat untuk
penderita TB RO sangat diperlukan . Akses pemeriksaan TCM, LPA lini 1,2. dan kultur DST MTB perlu memperluas keberadaannya untuk mendukung diagnosis. Tidak hanya itu, akses masyarakat untuk menggunakan pelayanan kesehatan juga harus dipermudah.Kolaborasi dengan BPJS, adanya puskesmas keliling, pemberian enabler bagi penderita, peningkatan jumlah faskes satelit pelayanan TB RO juga dapat menjadi solusi.

4. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas TB dengan penyulit/
komorbid TB dengan penyulit/komorbid seringkali merupakan kasus yang sulit dan
memerlukan perawatan lama serta angka mortalitas yang tinggi. Edukasi
juga menjadi hal yang penting melalui pemberian informasi kepada masyarakat bahwa TB yang berat, TB yang terlambat diobati, serta TB dengan komplikasi dan komorbid multipel dapat menyebabkan kematian. Peningkatan kompetensi dokter dalam melakukan tatalaksana TB dengan
komplikasi perlu terus dilaksanakan dengan mengadakan Lokakarya. Penanganan komorbid yang optimal juga dapat mempengaruhi prognosis. Pemerataan sebaran tenaga kesehatan spesialistik dalam tatalaksanakasus sulit telah diusahakan oleh PDPI dengan peningkatan jumlah
kelulusan spesialis paru per tahun. Selain itu juga diperlukan rehabilitasi
sistem kesehatan terutama pengadaan sarana dan pra-sarana untuk TB
dengan komplikasi/komorbid terutama ruang intensif khusus/isolasi untuk tatalaksana TB berat/ dengan penyulit terutama di daerah/rumah sakit yang belum memiliki fasilitas tersebut.

5. Rendahnya angka cakupan TPT pada ILTB
Pelaksanaan pemberian TPT pada ILTB di Indonesia memiliki tantangan tersendiri yaitu

1) pertanggungan jaminan kesehatan pada penderita ILTB
belum jelas,

2) alur diagnosis dan tatalaksana masih belum diketahui
secara luas,

3) ketersediaan obat TPT belum mencukupi,

4) Sulitnya memulai pendekatan TPT karena subyek merasa diri sehat 5) Belum
tersedia alat diagnostik seperti Mantoux/IGRA dan foto thoraks di semua lini sistem Kesehatan.

Perlu “Duduk Bersama” antara anggota
perhimpunan organisasi profesi, pemerintah, dan pemangku kepentingan/pihak
terkait lainnya untuk mencari solusi bersama dari permasalahan tersebut.
Walaupun banyak tantangan yang telah disebutkan diatas PDPI tetap
berkomitmen memberikan pelayanan terbaik untuk penanggulanan TB. Di
bawah ini terdapat beberapa rekomendasi kegiatan yang bisa dilakukan baik
oleh anggota perhimpunan maupun kolaborasi dengan stakeholder/ pihak
terkait untuk optimalisasi eliminasi TB.

REKOMENDASI ​​KEGIATAN PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS OLEH PDPI

1. Pada tingkat komunitas: melakukan edukasi pencegahan penularan;
edukasi keluarga untuk mendukung pengobatan; menghilangkan stigma;
Puskesmas dapat bekerja sama dengan Posyandu, Poskesdes, PKK,
Dharmawanita, tokoh masyarakat, pemuka agama, komunitas populasi
berisiko, dan farmasi untuk skrining TB baik TB laten maupun TB aktif di
wilayah kerjanya. Menggalakkan penemuan kasus aktif melalui pemberian penghargaan bagi kader atau nakes yang bekerja aktif dalam penemuan kasus. Lomba inovasi penanggulangan TB tiap daerah, dan penghargaan untuk daerah yang berhasil menurunkan kasus TB.

2. Pada pelayanan primer/privat : memperkuat public privat mix;
pemerataan penyediaan OAT, TPT, TST/mantoux ,TCM, BTA, dan foto
toraks di seluruh puskesmas ( PKM ) di Indonesia; mempermudah proses
rujukan spesimen dari praktek swasta ke PKM atau RS pemerintah yang
memiliki fasilitas TCM; menggalakkan dokter/nakes dalam faskes untuk
mengikuti pelatihan TB; menyediakan formulir skrining gejala TB di depan ruang praktek; mempermudah/menyederhanakan sistem pencatatan dan pelaporan (membuat sistem seperti peduli lindungi COVID-19 untuk TB); pendampingan/couching dari dinas/STPI/kader untuk dokter praktik
mandiri dalam pelayanan TB; mempermudah akses rujukan BPJS jika
pasien TB memerlukan referensi; Peningkatan kompetensi dokter melalui
bengkel; pembuatan PPK TB untuk layanan primer dokter.

3. Rumah sakit daerah: komitmen manajemen RS untuk pelayanan TB
harus kuat dengan memfasilitasi penyediaan sarana dan pra-sarana serta
SDM yang diperlukan. Sarana dan prasarana minimal yang seharusnya
tersedia di RS daerah adalah TCM, BTA, Mantoux test, foto toraks, dan
kultur MTB. RS Daerah diharapkan memiliki layanan spesialistik yang diperlukan untuk tatalaksana TB dengan penyulit.komorbid; memiliki layanan TB DOTS maupun TB RO, dan ILTB; Memiliki PPK dan CP tatalaksana TB serta komplikasinya; dan pada daerah yang geografisnya sulit diharapkan memiliki fasilitas ruang intensif untuk kasus TB berat.Tidak lupa juga memberikan insentif bagi warga yang bertugas di layanan TB baik berupa skrining kesehatan paru 1 tahun sekali, peningkatan asupan gizi serta peningkatan remunerasi.

4. Rumah sakit provinsi : RS provinsi diharapkan memiliki fasilitas yang lebih lengkap dari RS daerah dan dapat mengampu RS daerah untuk meningkatkan pelayanan TB. Di RS provinsi diharapkan selain tersedia kultur DST MTB, sputum TCM, dan LPA lini 1.2, juga diharapkan memiliki alat diagnosis yang lengkap seperti foto toraks, CT scan, dan MRI. Tersedia
spesialis terkait konsultan infeksi, bedah, intensif care, rehabilitasi medik,
PA, dan mikrobiologi. Tersedia juga vaksin BCG, OAT dan TPT lengkap baik
untuk obat TB sensitif maupun resisten. Memiliki layanan TB DOTS maupun TB RO dan ILTB.Memiliki PPK dan CP tatalaksana TB serta komplikasi dan yang paling penting memiliki Tim Ahli Klinis ( TAK ) dan melakukan kasus MDT yang sulit secara berkala, serta memiliki isolasi ICU/khusus kasus infeksi.

5. Pusat Rumah Sakit : Pusat Rumah Sakit diharapkan memiliki fasilitas dan
SDM terlengkap dalam pelayanan TB. Beberapa RS pusat sudah memiliki
pelayanan intervensi lanjut di bidang infeksi seperti bronkoskopi,
torakoskopi, VATS, bedah thorax, ECMO, dan lain sebagainya. RS pusat diharapkan memberi bimbingan/pendampingan kepada RSUD atau RS provinsi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan TB. Pusat RS juga dapat menjadi narasumber pelatihan terkait TB seperti TB DOTS/TB RO/ILTB/ pelatihan intervensi untuk penyakit TB dan menjadi pusat rujukan kasus sulit.

Seluruh kegiatan tersebut harus didukung oleh komitmen dari pemerintah,
pemangku kepentingan/pihak terkait, organisasi profesi organisasi, individu pelaksana, sistem kesehatan yang baik, dan model pembiayaan yang memadai.

Penanggulangan kasus TB di Indonesia adalah kewajiban dan tanggung jawab
kita bersama. Akhir kata semoga merayakan Hari Tuberkulosis Sedunia pada 24 Maret 2023 dengan tema YESS…WE CAN END TB! merupakan suatu kemajuan
yang baik dalam penanggulangan TB di Indonesia pasca pandemi, sehingga dapat mencapai eliminasi TB tahun 2030.

*(LI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *