Kematian Mahsa Amini, dan Korban kekerasan lainnya harus diungkap dengan jujur dengan team independent
BRN | JAKARTA – 18 Oktober 2022, Sekitar 200 warga Jakarta, termasuk diaspora Iran, demonstrasi depan Kedutaan Iran di Menteng siang ini, menuntut kematian beberapa perempuan muda dan anak-anak di Teheran diselidiki, dengan transparan dan jujur, serta Iran hentikan aturan wajib hijab yang tidak adil.
“Kami prihatin atas nasib perempuan Iran. Mereka dapat perlakuan tak adil, tindak kekerasan, bahkan pembunuhan, semata-mata karena memilih busana yang mereka pakai. Mereka memperjuangkan hak azasi mereka sebagai manusia dan menolak aturan pemaksaan hijab,” kata Santiamer Haloho, ketua dari Perkumpulan Jaga Pancasila Zamrud Katulistiwa (Galaruwa).
Mahsa “Jina” Amini, seorang perempuan 22 tahun, etnik Kurdistan, ditangkap pada 13 September 2022 di sebuah stasiun Teheran, ketika turun dari kereta api, datang dari kota Saggez, bersama saudaranya. Dia ditangkap “polisi moralitas” dengan tuduhan tidak memakai hijab sesuai aturan. Saudaranya minta agar Mahsa tak ditangkap karena mereka tak tahu kota Teheran.
Namun polisi bilang dia hanya akan ditahan beberapa jam buat “diberi nasehat” soal pemakaian hijab. Namun di kantor polisi, Mahsa jatuh —sesuai rekaman CCTV—dan pingsan ketika menunggu panggilan pemeriksaan. Dia dibawa ke rumah sakit dalam keadaan koma serta meninggal pada 16 September 2022.
Pemerintah Iran mengatakan Mahsa meninggal karena “serangan jantung.” Namun seorang sepupu Mahsa, yang bicara dengan beberapa perempuan, yang ditangkap bersama Mahsa, dia dipukuli ketika berada dalam camp tahanan. Rumah Sakit Kasra, yang merawat Mahsa dalam Intensive Care Unit, mengatakan lewat Instagram bahwa Mahsa sudah “gegar otak” dan koma ketika dimasukkan perawatan.
Kemarahan publik atas kematian Amini memicu unjuk rasa di lebih 90 kota di Iran selama tiga pekan terakhir. #iranProtest libatkan ratusan ribu orang, lelaki maupun perempuan, dengan slogan, “Perempuan, Kehidupan, dan Kemerdekaan.” Ratusan perempuan Iran membakar hijab mereka sebagai protes atas aturan wajib jilbab, yang dijadikan hukum pidana sejak 1983. Hashtag mereka adalah #HairforFreedom.
Namun berbagai protes tersebut dihadapi dengan operasi keamanan, yang berujung kerusuhan hingga memicu kematian setidaknya 185 orang per hari ini, serta penangkapan banyak orang, termasuk setidaknya 28 wartawan. Niloofar Hamedi adalah wartawan pertama yang datang ke rumah sakit, memotret orangtua Mahsa, serta memberitakannya. Hamedi ditangkap petugas intel Iran pada 22 September 2022
“Kami mendesak pemerintah Republik Islam Iran untuk lakukan investigasi ulang, yang independent, dengan metode transparan dan jujur, guna mencari duduk perkara kematian Mahsa Amini,” kata Haloho.
Aksi damai depan Kedutaan Iran di Jakarta ini didukung beberapa organisasi, termasuk Galaruwa, Indonesia Bangkit/Tiga Pilar, Forum Betawi Bersatu (FBB), Gerakan Rakyat Peduli Bangsa (GRPB), Forum Dai Nusantara, Majelis Adat Dayak Nusantara, serta diaspora Iran maupun suku Hazara dari Afghanistan di Indonesia.
Ririn Sefsani, koordinator lapangan aksi, minta pemerintah Indonesia mendesak Iran menghormati hak
anak dan perempuan serta mencabut berbagai aturan wajib hijab.
“Ia adalah langkah awal yang akan mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan di Iran. Hijab adalah pilihan, ia optional, bukan mandatory, bila Iran mau bersikap adil,” kata Ririn.
Sejak 1983, negara Iran memasukkan berbagai pasal wajib hijab dalam system hukum mereka, buat perempuan sejak umur tujuh tahun. Hukumannya, dari sekedar “dinasehati” sampai penjara 1.5 tahun buat pelanggaran berulang soal hijab.
Namun ada beberapa perempuan dihukum lebih lama dengan pasal berlapis. Pada 2019, Nasrin Sotoudeh, seorang pengacara Iran, yang membela para perempuan yang protes wajib hijab, dihukum penjara 38 tahun dengan pasal berlapis.
Para demonstran di depan Kedutaan Iran juga menuntut pemerintah Iran segera membebaskan semua wartawan maupun demonstran damai yang kini ditahan di puluhan kota Iran.
Andreas Harsono, seorang wartawan dan salah seorang pendiri Aliansi Jurnalis Independen, mengatakan, “Iran seyogyanya bebaskan Niloofar Hamedi dan wartawan lain. Kami wartawan di indonesia akan selalu protes Kedutaan Iran selama Hamedi dan lainnya masih ditahan. Negara manapun, termasuk Iran, akan sulit berkembang bila kebebasan pers dibungkam dan wartawan dipenjara.”
Santiamer Halolo mengatakan aksi damai ini adalah solidaritas kemanusiaan bagi perempuan Iran buat mendapatkan hak mereka dalam menentukan busana, “Kematian Mahsa Amini, maupun puluhan korban lain, seharusnya jadi alarm buat Iran bahwa pakai hijab atau bukan adalah pilihan masing-masing perempuan. Ia bukan wilayah negara.” *(LI)