BRN | JAKARTA – Beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia disuguhkan pemberitaan tentang ditunjuknya Pengacara Senior OC Kaligis sebagai Pengacara oleh keluarga Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe. Pada beberapa kalangan tentu saja memperkarakan sebagai hal yang lumrah mengingat OC Kaligis adalah seorang Advokat yang sedang menjalankan tugas pembelaan hukumnya, namun bagi sebagian kalangan yang berasal dari praktisi hukum tentu ini menjadi hal yang perlu di kritisi mengingat OC Kaligis adalah mantan tuduhan korupsi yang sebelumnya di vonis dengan masa tahanan 7 (tujuh) tahun penjara, yang bila merujuk pada Pasal 10 UU Advokat diatur sebagaimana dikutip dibawah ini :
“(1) Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:
1. permohonan sendiri;
2. dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih; atau
3. berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.
(2) Advokat yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berhak menjalankan profesi Advokat.”
Hal kembalinya OC Kaligis sebagai pengacara ini menjadi semakin menarik tatkala beberapa masalah besar di tanah air yang menyerat banyak aparat penegak hukum lain seperti kepolisian, kejaksaan bahkan hakim pada pemecatan dengan tidak hormat akibat terbukti melakukan tindak pidana. Sebut saja deretan nama – nama perwira yang terlibat dalam masalah hukum Ferdy Sambo, masalah korupsi yang menyerat Jaksa Pinangky atau banyaknya nama hakim yang dijebak karena tersandera kasus baik suap, Narkotika maupun perselingkuhan beberapa waktu lalu.
Merujuk pada Pasal 5 ayat (1) UU Advokat, maka Advokat sebagai penegak hukum juga mempunyai peran moral yang besar dalam ikut menegakan hukum demi tercapainya supremasi hukum di Indonesia. Peran besar penegakan hukum dimaksud tidak saja kehadiran untuk memberikan akses keadilan di dalam ruang sidang saja namun juga pengejahwantahan nilai, ide, visi untuk menjadi sebuah argumentasi hukum menuju kebenaran. Bila demikian, mengapa perilaku jahat advokat yang telah berkekuatan hukum tetap atau berdasarkan ketentuan di atas serperti tidak mendapat kontrol dari negara? Ada masalah apa sehingga penerapan pemberhentian advokat dari profesinya karena kejahatan seperti disumbat oleh masalah administrasi dan bukannya dijalankan demi tujuan substantif kemanfaatan hukum?
Berdasarkan hal diatas, hari ini kami dari GRPB sebagai sebuah aliansi masyarakat yang peduli dengan hukum, datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan tingkat pertama yang memeriksa perkara Tipikor Sdr. OC Kaligis dengan No. 89/Pid.Sus/TPK/2015, untuk meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar menyampaikan putusan Salinan kepada Organisasi – organisasi tempat Sdr. OC Kaligis diperkirakan bernaung supaya diberhentikan secara tetap dari profesinya sebagai Advokat. Selanjutnya kami juga meminta kepada Mahkamah Agung dan Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan perubahan hukum dengan memberhentikan dari profesinya semua advokat yang terbukti melakukan tindak pidana.
Bahwa permohonan penerapan Pasal 11 jo. Pasal 10 UU Advokat terhadap OC Kaligis ini diharapkan pijakan awal pembenahan fungsi kontrol terhadap Advokat secara keseluruhan demi marwah, keluhuran dan martabat profesi advokat yang selalu diberi gelar officium nobile itu.
Kepada para awak media, Novie Selaku Aktivis GRPB Indonesia mengatakan Kita ini memberikan suatu laporan keresahan sebagai rakyat, sebagai masyarakat dimana UU Advokat itu harus di tegakkan, harus di berlakukan. Seperti yang terjadi saat ini kepada Lawyer kondang yang sudah senior dan sangat terkenal yaitu Bapak OC. Kaligis. Dia pernah menjadi seorang narapidana dengan vonis nya 7 tahun, secara UU Advokat seharusnya tidak bisa menjalankan kepemimpinan lagi sebagai pengacara dan untuk secara hukumnya bisa dijelaskan oleh Tim Kuasa Hukum GRPB Indonesia,”Ujarnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jl. Bungur Besar Raya No.24 Gunung Sahari Selatan, Kec.Kemayoran, Kota Jakarta Pusat 28/2/23.
Sementara itu Kuasa Hukum GRPB Indonesia Yusuf Seno Hetmina. SH mengatakan, Kami datang melayangkan suatu surat untuk menggugah bukan menggugat dari pada rekan senior kita Bapak OC Kornelius Kaligis, Dalam prakteknya determinasi hukum yang terlampau jauh, statusnya sebagai penyitaan tindak pidana korupsi dengan hukuman diatas 4 tahun hari ini menjadi kuasa hukum dari Gubernur Papua Lucas Enenbe. Saya sebagai lawyer mencoba menerapkan ataupun coba menegakkan supermasi hukum itu sendiri dan juga coba mengangkat harkat dan martabat dari para Advokat marilah kita sadar diri, coba untuk kembali dalam UU No18 Advokat tahun 2023,” ungkapnya.
Lebih lanjut Yusuf mengatakan, Adapun tujuan dari pengajuan surat permohonan UU ini adalah agar yang bersangkutan dapat dikeluarkan oleh organisasi Advokat lewat pengadilan dan juga Mahkamah Agung,” ujarnya.
Seperti yang kita ketahui bahwa organisasi advokat di indonesia sendiri mengalami krisis yang multi dimensi karena berbagai macam jenis advokat tumbuh kembang hari ini di republik ini, ada semacam kegusaran dari pada rakyat itu sendiri dan pelaku praktek dunia hukum dalam perjalanannya karena selalu dirasa tidak adanya kepastian- kepastian hukum karena tidak adanya kepatutan atau kesetiaan untuk kembali kepada UU itu sendiri,” ucapnya.
“Dalam prakteknya tanpa mengindahkan UU pun kami dapat bersparatif, padahal jelas dalam pasal 10 dan pasal 11 tentang pemberhentian advokat yang telah mengalami hukuman tindak pidana korupsi tidak diperkenankan untuk dipraktekkan. Harapan saya semua lembaga peradilan termasuk penegak hukum Hakim, Jaksa, Kepolisian bahkan Advokat sendiri dapat bersinergi secara positif dan mengembalikan kita kepada marwahnya menegakkan kebenaran dan keadilan itu sendiri,” ujarnya.
Adapun catatan khusus untuk Organisasi Advokat, kepada semua abang, rekan senior kita Pangaribuan, Hasibuan, Girsang, marilah melihat hal ini, apa yang sudah diamanatkan UU Advokat ini marilah kita terapkan secara jujur, secara benar,” tutupnya *(LI)