BRN | Jakarta, 22 Desember 2023 — Hari Ibu merupakan momentum untuk mengenang perjuangan pergerakan perempuan dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama pada 22 Desember 1928 di Ndalem Joyodipuran, Yogyakarta. Saat itu, ada sekitar 600 perempuan dan ibu yang berasal dari 30 organisasi perempuan di Jawa dan Sumatra yang berkumpul. Mereka mendiskusikan upaya untuk meningkatkan derajat dan kiprah perempuan dalam gerakan bangsa. Melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959, Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.
Di era Orde Baru, rezim Soeharto mereduksi hak-hak perempuan terutama hak-hak politiknya. Rezim ini mendirikan organisasi perempuan Dharma Wanita Persatuan yang bertugas mengontrol dan mengawasi kegiatan perempuan. Orde Baru mendiskriminasi pekerja perempuan dengan gaji yang jauh di bawah gaji laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Sejumlah perempuan yang bersuara kritis dan berani membela hak-hak kaum perempuan berujung pada kematian tragis.
Reformasi 1998 merupakan tonggak penting dalam sejarah Indonesia karena peristiwa ini menjadi titik nol perbaikan demokrasi dan kebebasan berpendapat yang “terbungkam” selama 32 tahun di bawah rezim otoriter Orde Baru. Tahun 1998 merupakan periode menguatnya konsolidasi gerakan perempuan. Beberapa bulan sebelum aksi demonstrasi mahasiswa pecah, kaum perempuan dan kaum ibu melakukan aksi damai dengan melakukan orasi dan membagikan bunga kepada tentara serta orang-orang yang berlalu lalang di sekitar tempat aksi. “Aksi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap rezim Soeharto sekaligus memperjuangkan pemenuhan kebutuhan dasar perempuan dan masyarakat umum. Perlawanan perempuan tidak hanya di Jakarta, namun juga di beberapa wilayah Indonesia,” jelas Djarot S. Hidayat, Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
“Reformasi 1998 telah membuka kesempatan kepada para perempuan Indonesia untuk aktif di wilayah publik, di ruang-ruang advokasi isu-isu perempuan serta memenuhi kuota 30% di parlemen. Namun, setelah 25 tahun Reformasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme masih saja terjadi. Pertanggungjawaban dan permintaan maaf atas terjadinya kerusuhan dan kekerasan terhadap perempuan selama kerusuhan “98 belumlah didapatkan, ungkap Sri Rahayu, Ketua Bidang Kesehatan, Perempuan dan Anak DPP PDI Perjuangan. Sejarah pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan pada Mei 1998 mengundang kemarahan dari gerakan perempuan. Saat itu pula aktivis gerakan perempuan berupaya untuk menuntut negara agar meminta maaf atas tragedi yang terjadi.
Belakangan ini, rakyat Indonesia kembali dipertontonkan laku kehidupan seperti di masa Orde Baru. Menghalalkan segala cara untuk kekuasaan. mengkhianati cita-cita reformasi. Tidak diam, perempuan kini harus kembali ke jalan untuk mengabarkan keadaan, membakar semangat perlawanan, untuk keadilan. Berkaitan dengan keadaan demokrasi saat ini serta dalam rangka memperingati Hari Ibu 2023, DPP PDIP bekerja sama dengan Kawan GanjarMahfud “98 menyelenggarakan acara talk show dengan tema “Perempuan Jaga Demokrasi: Ibu (Kembali) Bersuara Tegakkan Demokrasi” yang menampilkan 3 perempuan hebat yakni dr. Ribka Tjiptaning (Ketua Bidang Sosial dan Penanggulangan Bencana DPP PDI Perjuangan), Dr. Ruth Indiah Rahayu (Peneliti Inkrispena), dan Dr. Nurul Nurhandjati, SIP, M.Si, (Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia).
“Talk show ini didedikasikan sebagai wujud penghargaan bagi seluruh kaum perempuan atas kontribusi mereka untuk kemajuan bangsa Indonesia serta sebagai pengingat untuk kembali bersuara dalam menegakkan demokrasi dan mewujuddkan cita-cita Reformasi 1998,” jelas Nuraini,
Ketua GanjarMahfud ’98. “Hal itu sesuai dengan amanat Soekarno mengenai peran perempuan yang amat penting bagi negara yakni sebagai tiang negara. Jika perempuannya baik, maka negaranya baik,” tutup Nuraini. *(LI)