BRN | Jakarta – Jumat, 9 Februari 2023 Pada
Jumat 9 Februari 2024, sivitas akademika Universitas Trisakti yang terdiri dari guru besar, pengajar, mahasiswa, karyawan dan alumni, menyatakan kekhawatirannya atas matinya reformasi dan lahirnya tirani melalui ‘Maklumat Trisakti Melawan Tirani’ di Tugu Reformasi, Jakarta Barat.
Mereka menolak berbagai pelanggaran etika berbangsa yang dilakukan oleh penyenggara, seperti Mahkamah Konstitusi dan Presiden, pejabat istana, Kementerian dan Lembaga serta Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU). Tak hanya itu, kegelisahan ini juga terjadi karena adanya manipulasi rakyat melalui personifikasi bantuan sosial yang merupakan kewajiban negara atas hak-hak rakyat sebagai pemberian pibadi untuk tujuan kepentingan pemilu terhadap paslon tertentu.
Dalam kesempatan yang sama, para sivitas akademika Universitas Trisakti ini juga menentang pemberatasan korupsi yang bermotif dan bertujuan politik partisan. Jika negara serius dalam penanganan korupsi, maka proses penindakan tidak berhenti ketika pejabat yang diperiksa malah menjadi juru kampanye paslon tertentu yang didukung penguasa.
Dengan kondisi dimana sendi-sendi hukum dan demokrasi dirusak, Vladima Mardika,
Presidium Mahasiswa dari BEM Universitas Trisakti, mengutuk segala cara-cara intimidatif maupun kekerasan negara terhadap ekspresi kritik dan protes mahasiswa, para aktivis dan warga biasa yang bersuara kritis.
“Intimidasi dan kekerasan negara ini termasuk pengkondisian ketakutan politik terhadap masyarakat luas dalam mengaktualisasikan hak pilihnya pada hari pemungutan suara nanti,” sambungnya.
Sebagai seorang mahasiswa, Vladima menilai Pemilu 2024 menjadi pemilu pertama yang tidak adil, tidak bebas, dan tidak demokratis semenjak masa Reformasi.
Buruknya proses Pemilu 2024 juga dibenarkan oleh Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Trisakti, Prof.Dr.Wegig Murwonugroho. “Terlalu banyak ketidaknetralan pejabat dan aparat negara, termasuk menawarkan fasilitas dan sumber daya negara lainnya hanya untuk kepentingan partisan paslon tertentu,” jelasnya.
Untuk itu, Dr. Irene Mariane, dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, beserta para sivitas akademik Universitas Trisakti mendukung suara gerakan menyebarkan para guru besar dan sivitas akademika dari berbagai Universitas, Lembaga dan Sekolah Tinggi atas deklarasi demokrasi saat ini.
“Kami mendukung seruan untuk kembali ke jalan demokrasi yang benar. Seruan ini menjadi catatan penting bahwa demokrasi di negara kita dapat dikatakan dalam kondisi darurat,” tambahnya.
Sikap para guru besar, dosen, karyawan, mahasiswa dan alumni pada hari ini berlandaskan pada gerakan politik moral, bukan pada kekuasaan politik partisan. Kritik yang disampaikan adalah sebagai aspirasi dan pemikiran terhadap persoalan bangsa dalam situasi politik dan bernegara saat ini, sejalan dengan arti kata Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam berkebudayaan.
“Kami mendesak Presiden dan seluruh penyelenggara negara untuk kembali ke jalur Reformasi 1998: menegakkan supremasi hukum dan HAM, memberantas KKN, mengadili kroni-kroni Soeharto, menjaga otonomi daerah, mencabut dwifungsi ABRI (sekarang TNI dan Polri), dan membatasi kekuasaan melalui UUD 1945 ,” tuntut Andika Rizki Wijaya, mantan Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti sekaligus penggagas Maklumat Trisakti Melawan Tirani. *(LI)