November 22, 2024

BRN, Jakarta – Laporan Walks Free 2023 mencatat bahwa Indonesia berada di peringkat 10 dari 27 negara di kawasan Asia Pasifik, dan peringkat 62 dari 160 negara secara global sebagai negara yang tidak serius melakukan penghapusan praktek perbudakan modern yang dialami rakyatnya. Meski hukum nasional melarang kolonialisme dan perbudakan namun ternyata masih banyak masyarakat yang masih mempraktekkannya.

Kartini memberontak terhadap praktek pembatasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang dialami para perempuan Jawa di masa akil baliq. Sayangnya, hingga saat ini masih ada lebih dari 5 juta perempuan PRT dan anak-anak yang masih mengalami pingitan warisan feodalisme tersebut.

Institut Sarinah mengecam keras sikap DPR yang bergeming dan terkesan sengaja menahan pengesahan RUU PPRT yang bertujuan untuk menghapus praktek perbudakan modern.Kolonialisme sudah berakhir hampir 80 tahun, tetapi keladinya masih hidup yaitu feodalisme yang eksploitatif terhadap perempuan dan anak di sektor non formal,” kata Ketua Institut Sarinah, Endang Yuliastuti.

Kartini menyatakan kebenciannya pada kolonialisme sekaligus feodalisme sebagai penghalang manusia untuk merdeka menikmati martabat kemanusiaan rakyat. “Menyedihkan, saat ini ada penindasan dari bangsa sendiri. Dari sesama warga bahkan sesama perempuan kelas pemberi kerja ke para PRT,” kata Dhini Mudiani yang juga Ketua Rampak Sarinah Jakarta.

Pendiri Institut Sarinah, Eva Sundari menyeru kepada Ketua DPR Ibu Puan Maharani agar berbelas kasihan kepada para ibu PRT dengan segera melanjutkan proses legislasi RUU PPRT hingga tuntas. “Kesempatan bagi Ketua DPR perempuan pertama untuk membuat sejarah, bahwa kepemimpinan perempuan membawa berkah kesejahteraan bagi para perempuan.”

Institut Sarinah mengharapkan DPR mempunyai politik pemihakan yang terukur pada nasib rakyat kecil korban dari sistem yang eksploitatif. Salah satu pembuktiannya adalah melalui dukungan Ketua DPR pada perbaikan nasib para perempuan PRT sehingga kinerja pemimpin perempuan menjadi akuntabel dari perspektif feminisme dan Pancasila.   *(LI)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *