November 21, 2024

JAKARTA | BRN – Jumat (26/07/2024). Dunia hukum, khususnya lembaga peradilan sedang viral. Pasalnya, Sidang Putusan Peradilan yang mengangkat kasus tindak kekerasan terhadap perempuan hingga mengakibatkan korban meninggal dunia, dimana dilakukan oleh kekasihnya, seorang pria yang terjadi di Surabaya, menjadi anti klimaks.

Kenapa tidak, hakim yang memutuskan pelaku, RT yang melakukan tindak kekerasan terhadap korban DS hingga tewas, memutuskan tidak bersalah dan bebas dari jerat hukum. Padahal barang bukti dan hasil visum dari pihak kepolisian, sudah sangat kuat pelaku RT bisa dijerat pasal 351 KUH Pidana tentang tindak penganiayaan.

Keputusan Majelis Hakim dari Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan RT tidak bersalah pada hari Rabu (24/07/2024) lalu menuai banyak kritik dan kritisi dari masyarakat, bahkan dari beberapa tokoh praktisi hukum dan pembela kaum perempuan.

Salah satu yang menentang akan keputusan tersebut adalah DR. Hj. Nurmalah, SH., MH., CLA., Pemerhati Perempuan dan Anak. DR
Hj. Nurmalah, SH., MH., CLA. yang juga pernah menjabat sebagiai Ketua Peradi Palembang masa bakti 2016 sampai 2021 dan sekarang menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi mengatakan bahwa keputusan majelis hakim tersebut sangat menciderai keadilan, apalagi dirinya sempat menjadi Ketua Aliansi Pengacara Perempuan Anti Kekerasan, kecewa akan putusan sidang yang membebaskan RT, pelaku kekerasan.

Melalui pesan singkat kepada redaksi, Jumat (26/07/2024. DR. Hj. Nurmalah, SH., MH., CLA. mengemukakan pendapatnya mengenai viralnya keputusan hukum tersebut.

“Terhadap putusan hakim, saya selaku praktisi hukum dan sebagai Perempuan, mengetahui dari berita putusan terhadap terdakwa yang diputus bebas, saya menghormati putusan hakim, namun sebaiknya putusan hakim tersebut diajukan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum,” pungkasnya.

“Saya memang tidak mengikuti proses persidangan hanya melihat dan mendengar berita-berita baik berita online ataupun cetak elektronik, sepertinya dari pemberitaan tersebut fisik korban mengalami luka, lebam, dan sebelumnya terjadi keributan antara korban dengan terdakwa. Dan jaksa telah melakukan tuntutan cukup tinggi, artinya JPU sangat yakin bahwa pelaku bersalah.”

Kalau melihat dari uraian fakta-fakta dari pemberitaan, sepertinya bukti bukti sudah cukup kuat dan korban faktanya memang ada dan telah meninggal. Sesuai visum ada luka memar bagian kepala, leher, dada bagian kanan dan tengah, perut, lutut kanan, tungkai kanan, ditambah dengan keterangan saksi-saksi, artinya secara hukum bukti bukti sudah terpenuhi. Fakta memang korban meninggal dan ada luka-luka seharusnya pelaku dihukum bukan di vonis bebas. Saya yakin kalau Jaksa Penuntut Umum sudah menuntut tinggi dan dikuatkan dengan adanya bukti Visum dan keterangan saksi-saksi. Jelas dalam Pasal 184 KUHAP tentang alat bukti sudah terpenuhi, dan saya rasa juga kalau Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan dakwaan berlapis misal Pasal 338, 351 ayat (3) KUHP atau Pasal 359 KUHP maka yang mana yang paling tepat diterapkan dari pasal-pasal yang didakwakan tersebut, bukan dibebaskan sangat disayangkan kalau pelaku dibebaskan, apalagi dalam persidangan terbukti terdapat luka fisik yang sangat jelas. Oleh karenanya, sekali lagi putusan tersebut sangatlah memprihatinkan dan inilah bukti carut marutnya penegakan hukum di negara ini, karena belum hilang di ingatan kita dan masih heboh di masyarakat kita dipusingkan dengan kasus Vina, kini dihebohkan dengan dibebaskannya pelaku yang notabennya anak anggota DPR.”

“Sekali lagi saya sangat prihatin dan kecewa serta berharap JPU segera kasasi atas putusan tersebut, ” Ungkapnya kecewa atas hasil putusan peradilan tersebut.

Ketika ditanya mengenai kasus tersebut dari sudut pandang hukum, Nurmalah menjelaskan kalau korban nyata-nyata meninggal dan mendapatkan kekerasan fisik maka dicari apa penyebab luka yang ditemui pada tubuh korban sehingga korban meninggal dunia.

“Pasal-pasal yang bisa dijerat :
Kalau memang direncanakan untuk membunuh korban Pasal 340 KUHP ancaman hukuman mati.”

“Kalau sengaja untuk menghilangkan nyawa 338 KUHP ancaman 15 tahun penjara.”

“Kalau penganiayan yang menyebabkan mati Pasal 351 ayat (3) KUHP ancaman 7 tahun penjara.”

“Kalau karena kelalaian menyebabkan korban meninggal dunia Pasal 359 KUHP ancaman 5 tahun penjara.”

“Kalau dengan sengaja ditabrak menyebabkan korban meninggal dunia menggunakan kendaraan bermotor (setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik dan berupa mesin selain kendaraan yang berjalan diatas rel), Pasal 311 ayat (5) UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas, ancaman penjara 12 tahun, denda 24 juta.”

“Kalau karena kelalaian menyebabkan korban meninggal dunia menggunakan kendaraan bermotor (setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik dan berupa mesin selain kendaraan yang berjalan diatas rel), Pasal 310 ayat (4) UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas, ancaman penjara 6 tahun, denda 12 juta.

Selain itu bisa diterapkan ketentuan tentang Restitusi berdasarkan PERMA No 1 Tahun 2022 Pasal 2 ayat (1) yaitu salah satunya berdasarkan keputusan LPSK. Contoh kasus perkara nomor 249/Pid.B/2019/ PN.Mrb.”

Yang harus dilakukan agar kebenaran ditegakkan, terhadap kasus ini Jaksa Penuntut Umum harus melakukan upaya hukum kasasi, dan JPU harus bisa membuktikan bahwa hakim telah salah menerapkan hukum dan tidak menerapkan hukum pembuktian sebagaimana mestinya serta melanggar hukum. Dengan mengkaitkan fakta fakta yang terungkap di persidangan sesuai dengan alat bukti sah sebagaimana diatur dala Pasal 184 ayat (1) KUHAP .

ayat (1)
1. Keterangan saksi.
2. Surat.
3. Keterangan Ahli.
4. Petunjuk.
5. Keterangan Terdakwa.

Ayat (2)
Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 30 UU 14/1985 yang telah diubah dengan UU 5/2004 dan diubah lagi dengan UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung. Bahwa Mahkamah Agung berwenang: ”Dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; dan/atau
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Selain itu, jika dirasa patut diduga keras ada pelanggaran, keluarga korban dapat melaporkan ke Komisi Yudisial dan ke Badan Pengawasan Hakim di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Selanjutnya, kalau patut diduga ada indikasi suap atau gratifikasi laporkan ke KPK/Kejaksaan/Kepolisian dengan menggunakan UU Tipikor.

Kita semua tahu, hakim mempunyai hak independen dalam arti bebas dan mandiri, tapi perlu diingat hakim juga dibatasi dengan rambu rambu hukum yaitu hukum acara pidana dan kode etik hakim itu sendiri. Dalam hukum kita juga tahu tentang tujuan hukum yaitu, agar terciptanya:
1. Azas keadilan.
2. Azas kepastian hukum.
3. Azas kemanfaatan.

Kalau suatu perkara sudah jelas jelas terbukti berdasarkan alat bukti sah Pasal 184 KUHAP, “lalu dibebaskan dapat dipastikan ketiga azas tersebut tersebut tidak terpenuhi.” Dalam hukum memutuskan berdasarkan alat bukti sah kalau alat bukti sah sudah terpenuhi tapi dikesampingkan oleh hakim lalu terdakwa dibebaskan, maka dapat dikatakan keadilan sudah mati.”

“Harapan saya kepada aparat penegak hukum, ayo tegakkan hukum sebagaimana mestinya. Faktor penegak hukum itu, sangat penting karena hukum kita sudah bagus tapi penegak hukumnya tidak objektif tidak kredibel maka akan menjadi sia-sia. Dan faktor negara juga harus berada didepan karena negara juga sebagai faktor penentu untuk tegaknya hukum.

Serta masyarakat dan media harus berani menjadi kontrol sosial terhadap tegaknya hukum di Indonesia yang kita cintai ini. Selain itu, kalau perkara ini diajukan kasasi oleh JPU, saya berharap hakim di tingkat kasasi (Majelis Hakim Mahkamah Agung RI sebagai benteng tertinggi untuk mencari keadilan) harus mengadili perkara ini secara objektif dan juga memperhatikan serta melindungi keadilan korban.”

DR. Hj. Nurmalah, SH.,MH., CLA juga memberikan pesan kepada kaum perempuan agar berani dan jangan mau menjadi objek tindak kekerasan. “Pesan saya untuk kaum perempuan, jadilah perempuan hebat dan mandiri, jangan mau jadi objek kekerasan. Jauhi lingkungan yang tidak nyaman termasuk dalam bergaul hati-hati juga.
Kita boleh membuka diri bergaul dengan siapapun tapi hendaklah jangan membuka hati yang membuat kita tidak cerdas berpikir dan tidak menggunakan logika, serta harus berani bersuara (speak up) jika mengalami kekerasan ataupun melihat ada kekerasan didepan kita, karena sesungguhnya kita harus mengkampanyekan ”STOP KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN”. Dan kalau kita melihat ada korban kekerasan di depan mata, laporkan ke pihak berwajib bahwa itu adalah tindakan kejahatan. ”PEREMPUAN HEBAT ADALAH PEREMPUAN YANG SALING MERANGKUL UNTUK KEBAIKAN DAN KESUKSESAN, BUKAN UNTUK SALING MENJATUHKAN”, pungkasnya. (JN).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *