May 20, 2025

JAKARTA | BRN- Penjelasan Edukasi Hukum mengenai Sidang Perceraian, Bolehkah Terbuka Untuk Umum?. Materi disampaikan oleh Dr. Hj. Nurmalah, S.H., M.H., CLA. (Praktisi Hukum, Advokat dan Wa sekjen DPN Peradi).

 

Persidangan Tertutup untuk Umum

Sidang tertutup untuk umum adalah masyarakat tidak dapat hadir jika bukan merupakan pihak yang berperkara atau dalam kapasitas sebagai kuasa hukum.

Sidang Gugatan perceraian dilakukan tertutup diatur dalam Pasal 80 ayat (2) UU Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989) dengan bunyi ketentuan:

Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

 

Alasan Perceraian

Dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) diterangkan adanya 6 sebab yang dapat dijadikan alasan perceraian, baik untuk menjatuhkan talak maupun cerai gugat. Adapun alasan-alasan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Salah satu pihak atau pasangan melakukan zina, merupakan pemabuk, pemadat, penjudi, dan perbuatan lainnya yang sukar disembuhkan.

Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

Salah satu pihak atau pasangan mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Salah satu pihak atau pasangan melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

Salah satu pihak atau pasangan mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

 

Alasan Perceraian dalam Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

 

Alasan Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam atau KHI, alasan perceraian dalam Islam diatur secara tegas dalam Pasal 116 KHI. Pasal tersebut memuat delapan sebab yang dapat dijadikan alasan perceraian, yakni sebagai berikut.

Salah satu pihak atau pasangan berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

Salah satu pihak atau pasangan mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Salah satu pihak atau pasangan melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

Salah satu pihak atau pasangan mendapat cacat berat atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

Di antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

 

Suami melanggar taklik talak.

Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

 

Gugatan perceraian karena alasan salah satu pihak meninggalkan rumah tanpa izin dapat diajukan setelah dua tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah. Kemudian, gugatan karena alasan ini dapat diterima jika tergugat (pihak yang meninggalkan) menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau kembali ke rumah (Pasal 133 KHI).

Gugatan perceraian karena alasan terus terjadi perselisihan di antara suami dan istri dapat diterima jika Pengadilan Agama telah mengetahui penyebab terjadinya perselisihan dan telah mendengar pihak keluarga serta orang-orang terdekat dari pasangan suami-istri tersebut (Pasal 134 KHI).

Gugatan perceraian karena alasan salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau lebih berat, dapat diajukan dengan menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (Pasal 135 KHI).

 

Akibat Perceraian

Terhadap Harta Bersama

Dalam hukum Islam harta bersama disebut juga dengan syirkah. Syirkah adalah percampuran, dalam hal ini yaitu percampuran harta yang diperoleh oleh suami dan istri selama perkawinan berlangsung. Harta yang bersatu karena syirkah selama perkawinan menjadi milik bersama. Jika terjadi perceraian maka harta syirkah tersebut dibagi antara suami istri menurut perimbangan sejauh mana usaha mereka dalam memperoleh harta tersebut.

Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan (UU No.  Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ketentuan harta bersama juga diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Konsekuensi atau akibat hukum perceraian terhadap harta bersama diatur dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.”

 

Jika tidak ada perjanjian perkawinan, dalam perceraian harta bawaan otomatis menjadi hak masing-masing suami atau istri dan harta bersama akan dibagi dua sama rata diantara keduanya (Pasal 128 KUHPer, Pasal 97 KHI). Tentunya jika ada perjanjian perkawinan, pembagian harta dilakukan berdasarkan ketentuan dalam perjanjian itu.

 

Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”

Berdasarkan Pasal 126 KUHPerdata, harta bersama bubar demi hukum salah satunya karena perceraian. Lalu, setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu.

Pada dasarnya persoalan pembagian harta ini bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai. Dalam hal demikian maka daftar harta bersama dan bukti-bukti bila harta tersebut diperoleh selama perkawinan disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan cerai (posita). Dan kemudian disebutkan dalam tentang permintaan pembagian harta dalam berkas tuntutan (petitum). Putusan pengadilan atas perceraian tersebut akan memuat pembagian harta.

 

Terhadap Anak

Terdapat dua ketentuan yang mengatur mengenai hak asuh anak setelah perceraian yaitu KHI dan UU Perkawinan.

Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan diatur bahwa terhadap putusnya perkawinan terdapat beberapa akibat, yaitu:

Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya;

Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Dalam UU Perkawinan diatur bahwa hak asuh anak akibat perceraian diberikan kepada bapak dan ibu. Namun, apabila terdapat perselisihan mengenai penguasaan anak-anak yang orang tuanya bercerai, pengadilan dapat memberi putusan terkait dengan penguasaan anak-anak tersebut jatuh pada siapa.

Selanjutnya, jika mengacu kepada ketentuan Pasal 105 KHI, hak asuh (hadhanah) anak atau pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (sudah bisa membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk) atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Sedangkan, pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak tersebut untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuh atau hak pemeliharaannya.

Selanjutnya, akibat putusnya perkawinan karena perceraian berdasarkan Pasal 156 KHI, antara lain:

anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;

ayah;

wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;

apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);

bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf a, b dan d;

pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

 

Ibu juga bisa kehilangan hak asuh anak, karena menurut Pasal 49 UU Perkawinan:

Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:

Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

Ia berkelakuan buruk sekali.

Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

 

Hak asuh anak dalam perceraian yang disebabkan jika istri terbukti selingkuh akan menyebabkan hilangnya hak ibu dalam mengasuh anak tersebut. Pasalnya, jika berselingkuh dan terbukti di pengadilan, si ibu dinilai gagal menjadi seorang ibu seperti yang tertuang dalam Pasal 34 ayat (2) UU Perkawinan, yakni istri/ibu wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

 

Terhadap Istri

Pada Pasal 149 KHI ditegaskan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

Memberikan mut’ah (sesuatu uang/barang) yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul (pasangan suami istri yang belum pernah berhubungan badan);

Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal), dan kiswah (pakaian) kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;

Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al-dukhul; dan

Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

 

Untuk kasus perceraian cerai gugat atau perceraian yang diajukan oleh pihak istri, KHI tidak menyebutkan tunjangan atau nafkah istri secara eksplisit. Namun, yang jelas, KHI menyatakan hak istri setelah menceraikan suaminya adalah mendapat nafkah idah dari bekas suaminya, kecuali ia nusyuz.

Menurut Al-Qur’an, “nusyuz” mengacu pada sikap permusuhan atau pemberontakan pasangan terhadap apa yang diharapkan darinya. Nusyuz bisa terjadi antara suami dengan istri maupun antara istri dengan suami. Arti lain dari nusyuz adalah tidak menghormati tugas dan hak suami istri dalam rumah tangga.

Menurut indikator nusyuz dalam KHI pasal 84 ayat 1, seorang istri dikatakan melakukan perbuatan nusyuz jika ia melalaikan kewajibannya

 

Pasal 83

Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam.

Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya.

Pasal 84

(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah

(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz

(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.

 

Dalam penjelasan pasal 39 UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tersebut dijelaskan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah :

Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf a UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (a) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam) .

Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 ( dua ) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa ada alasan yang sah atau karena ada hal yang lain di luar kemampuannya ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf b UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (b) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam).

Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf c UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (c) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam).

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf d UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (d) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam).

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kwajibannya sebagai suami/istri ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf e UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (e) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam).

Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf f No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam).

Alasan-alasan tersebut diatas masih ditambah 2 lagi sebagaimana tercantum dalam pasal 116 kompilasi hukum islam yaitu :

Suami melanggar taklik talak (pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam) .

Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga (pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam) .

(**).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *