
JAKARTA | BRN – Kelanjutan sidang di perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kasus Kredit Fiktif, Perkara nomor 29/Pis.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst digelar pada hari Selasa (10/06/2025), dimulai pukul 15.00 WIB, di lantai 2, Ruang sidang R.Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebagai kronologi awal, bahwa kasus tersebut mencuat akibat adanya temuan fraud (tindakan kecurangan dalam keuangan) dari tahun 2016 – 2023, yang ditemukan oleh tim audit internal BRI.
Berdasarkan temuan internal auditor BRI tersebut, fraud terjadi di 3 lokasi, yaitu di BRI unit Cibinong, BRI unit Menteng Kecil dan BRI Kantor Cabang Cut Mutiah.
Temuan tim auditor BRI tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan proses pemeriksaan dan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari kantor Kejaksaan Agung RI, yang hari ini perkaranya sudah memasuki proses persidangan dengan agenda pembacaan Nota Pembelaan (Pledoi).
Dalam proses pemeriksaan terhadap 33 orang saksi, 2 orang ahli, bukti-bukti surat, petunjuk dan keterangan 3 orang terdakwa, terungkap asal muasal kasus yaitu akibat pengajuan kredit fiktif dan pemalsuan data/identitas calon nasabah yang diduga dilakukan oleh Terdakwa 1 yang bernama Pelda (Purn) Dwi Singgih Hartono (DSH) selaku juru bayar Bekang Kostrad.
DSH yang kala itu sesungguhnya sudah pensiun, menggunakan surat tugas/penunjukan yang direkayasa agar dipercaya sebagai juru bayar aktif Bekang Kostrad, mengajukan 298 aplikasi kredit BRIGUNA dengan menggunakan identitas fiktif (KTP, kk, ttd, ) hasil rekayasa yang dilakukan oleh DSH. Adapun identitas yang direkayasa oleh DSH tersebut adalah KTP, KK milik orang-orang lain lain diluar BRI dengan memberi sejumlah imbalan kepada pemilik KTP dan KK tersebut. Identitas hasil rekayasa inilah yang dipakai untuk mendapatkan pencairan kredit BRIGUNA di BRI Kacab. Cut Mutia. Uang hasil pencairan diambil oleh DSH. Dari total kredit fiktif yang diajukan Terdakwa DSH sebanyak 298 aplikasi tersebut, 44 aplikasi diantaranya diajukan lewat BRI Cut Mutiah, dengan nilai total kredit Rp. 8.445.000.000,-.
Dari pencairan kredit di BRI Kacab Mutia tersebut, sebagian sudah dilakukan pembayaran/cicilan oleh Terdakwa DSH, sehingga sisa kredit terhutang di BRI Kacab Cut Mutiah saat perkara a quo adalah Rp 7.196.404.015,
Terdakwa DSH mengakui perbuatannya tersebut dipersidangan. Ditambahkan DSH bahwa pengajuan kredit fiktif tersebut tidak melibatkan pejabat/karyawan BRI.
Namun dalam dakwaannya, JPU malah menyeret MK yang saat itu baru 6 bulan diangkat sebagai karyawan tetap BRI kacab Cut Mutiah dengan posisi sebagai Relationship Manager. MK didalilkan JPU terlibat memperlancar pengajuan hingga pencairan aplikasi kredit fiktif yang diajukan DSH tersebut.
Selain DSH, ada 2 tersangka lain yang diduga melakukan/turut melakukan tindak pidana korupsi di BRI Kacaĉb Cut Mutiah, yàitu Oki Harrie Purwoko (OHP) sebagai Pemrakarsa/Relationship Manager dan MK sebagai pengganti OHP yang resign.
Evie Katharina, S.H., M.Hum. selaku salah satu Penasehat Hukum dari PBH PERADI Jakarta Barat, menyatakan tergerak hati untuk memberikan bantuan hukum dan pembelaan kepada MK karena menurutnya, dakwaan dan tuntutan dari JPU sangat memberatkan MK, serta tidak didasarkan pada fakta dan bukti-bukti terungkap di persidangan.
Contoh, bukti-bukti yang terungkap dipersidangan menunjukkan tidak ada penerimaan uang dari DSH kpd MK sebesar Rp 7.200.000,-, namun kenapa JPU dalam tuntutannya minta agar MK mengembalikan uang tersebut kepada negara?
Contoh lain: MK baru diangkat 6 bulan untuk bekerja sebagai RM menggantikan OHP dan setiap proses kerjanya MK selalu berkomunikasi dan melaporkan setiap tahap pekerjaannya kepada atasannya (Casmana, heryanto sampai ke Pinca). Semua komunikasi disampaikan secara langsung maupun lewat WhatsApp Group internal BRI Cut Mutiah. Di WAG tersebut semua PIC terkait dengan aplikasi Bekang Kostrad ada.
Di BRI Cut Mutiah, RM dituntut untuk menyelesaikan aplikasi pada hari yang sama (One Day Service). Jika tidak selesai pada hari yang sama maka akan dikenai sanksi berupa sanksi administratif sampai pemecatan.

Dalam perkara ini, MK didakwa dengan dakwaan sebagai berikut :
1. Primair : Pasal 2 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
2. Subsidair : Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Akibat dakwaan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut MK dengan hukuman penjara selama 5 tahun dikurangi masa selama ditahan di Rutan + denda Rp 750.000.000 + pengembalian uang gratifikasi dari Terdakwa 1 DSH sejumlah Rp 7.200.000,-
“Klien kami yaitu MK, berdasarkan bukti-bukti dipersidangan, tidak terbukti melakukan Tindak Pidana yang didakwakan oleh JPU. Dalam Surat Pengangkatan Karyawan Tetap yang diterbitkan oleh BRI untuk MK, jelas diatur jobdesc MK. Dan di Surat Keputusan tersebut tidak ada dituliskan bahwa MK bertugas dan bertanggungg jawab melakukan verifikasi berkas kredit dan check on the spot terhadap bendahara Bekang Kostrad sebagaimana didalilkan JPU. Selama meniti karirnya di BRI Kacab Cut Mutiah (mulai dari karyawan kontrak sebagai teller sampai dengan diangkat sebagai RM), MK tidak pernah mendapat teguran ataupun sanksi apapun dari perusahaan. Justru MK dipercaya dan kondite kerjanya dianggap baik sehingga yang bersangkutan diberi penghargaan sebagai The Best Employee,” jelas Evie kepada media.
MK membacakan pledoinya saat dipersidangan didampingi oleh Kuasa Hukum dari tim PBH Peradi Jakarta Barat. MK adalah pihak yang mengungkapkan dan membongkar kasus ini, namun kurang di respon oleh pimpinan, tapi kenapa justru MK yang dijadikan salah satu tersangka dalam perkara ini?
“Pertanyaan besar dari kami, jika dakwaan tidak terbukti, tak ada bukti penerimaan uang /gratifikasi, bagaimana mungkin bisa dituntut? Kenapa harus kembalikan uang/gratifikasi? “Tuntutan JPU seolah-olah mendorong agar klien kami mengakui perbuatan yang sesungguhnya tidak dia lakukan, ” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu kuasa hukum dari tim Pembela MK, Herry Suherman, S.H., M.H. “Harusnya JPU juga melihat bahwa klien kami ini tidak mengetahui dari awal permasalahan. Kalau ingin melihat jabatan, harusnya pengambil kebijakan pejabat yang lebih tinggi dari klien kami juga harus di periksa, agar lebih transparan dan jelas, ” pungkasnya.
Juga dijelaskan oleh salah satu dari tim kuasa hukum lainnya, Steven Frederick, S.H., M.H., “Klien kami tidak mempunyai kewenangan dan akses untuk memeriksa satu persatu berkas aplikasi kredit dan juga tidak seharusnya dijadikan tersangka, karena MK hanya pelaksana operasional melanjutkan tugas pejabat sebelumnya” pungkasnya.
Tim Penasehat Hukum MK dari PBH Peradi Jakarta Barat yang hadir di perkara a quo ini akan terus memperjuangkan keadilan, membela dan menegakkan kebenaran serta kepastian hukum untuk terdakwa MK. (**).