
JAKARTA | BRN – Tak dapat dipungkiri apalagi ditutup-tutupi bahwa proyek pembangunan Puskesmas di lokasi Kebon Torong Kelurahan Glodok atau di kenal dengan sebutan Kota dimana memang entitas Tionghoa menjadi penduduk dikawasan tersebut sejak sebelum kemerdekaan dan juga dikenal dengan sebutan Pecinan sebagaimana ada di banyak kota-kota besar di dunia, ditengarai lebih kepada sentimen etnis belaka ketimbang sebagai proyek yang harus dibangun disana secara intimidasi baik halus atas nama telah disosialisasi maupun sinisme dibelakangnya.
Bila benar pembangunan itu sudah disosialisasi secara benar berazas demokrasi maka tidak mungkin kemudian muncul protes oleh warga terdampak khususnya dan pengguna lapangan secara umum demikian masif baik di media sosial, media nasional maupun lewat kanal-kanal Pemprov terkait keluhan warga bahkan menghubungi lewat kantor Gubernur secara langsung juga adanya tim Pengacara yang ditunjuk warga memberi perlawanan Hukum pula.
Memang secara empiris dapat dibuktikan kalau warga keturunan ini masih saja menjadi korban oknum-oknum yang senantiasa mengambil keuntungan dari kelemahan posisi suatu entitas, karena kalau saja warga terdampak dari luar entitas warga kota Glodok itu yang bertempat tinggal disana apalagi masih terdapat silsilah dengan oknumnya, pasti tidak akan disentuh lapangan terbuka itu bahkan mungkin dijadikan lebih indah. Nasib.
Jadi bagaimanapun perlu menjadi perhatian serius dari pimpinan Kota Jakarta ini juga Istana bila perlu diberitahu karena untuk masalah diskriminasi semacam ini dunia tak lagi memiliki batas, kesan negatif dapat hadir sewaktu-waktu hingga ke negara-negara lain sebagai wujud solidaritas dan empati.
Para pengambil keputusan terkait proyek ini yang mencelakakan kehidupan warga terdampak dan mencederai rasa keadilan ini harus segera dipanggil Gubernur untuk dimintai pertanggung jawabannya dan mengembalikan fungsi lahan seperti semula, sebab warga semakin terasa diabaikan padahal patuh pada banyak beban kewajiban sebagai warganegara yang cinta negara dengan rasa solidaritas yang tinggi.
Bila terus diabaikan maka niscaya warga para korban akan membangun sebuah “Monumen Perampasan Kehidupan Warga Kebon Torong Kelurahan Glodok dan setiap tahunnya akan diperingati sebagai “Hari Diskriminasi Tanpa Keadilan Warga Kebon Torong Kelurahan Glodok – Pecinan Kota”. Dan diyakini sejumlah nama akan menjadi catatan pelaku perusakannya akan terus dikenang dan dipatri dalam monumen itu, bakal menjadi “The little tragedy of Mei 1998” sebagai wujud ekspresi kekecewaan dan sangat kebetulan perampasan lahan untuk dibangun itu dimulai di Mei 2025 ini. (**).
**oleh : Adian Radiatus