November 23, 2024

BRN | Selasa, 31 Januari 2023 – Tahun 2022 menjadi tahun ke-16 SETARA Institute merilis laporan dan data kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Data KBB merupakan hasil pemantauan SETARA Institute terhadap pelanggaran KBB yang terjadi sepanjang tahun 2022, yang didapat dari pelaporan korban maupun saksi, pelaporan dari jaringan SETARA Institute di berbagai daerah dan triangulasi dengan pemberitaan media.

I. Temuan Umum

Pada tahun 2022, SETARA Institute mencatat 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia Angka ini berbeda tipis dengan temuan peristiwa pada tahun 2021, yaitu 171 peristiwa dengan 318 tindakan. Dari 333 tindakan pelanggaran tersebut, 168 tindakan dilakukan oleh aktor negara, sementara 165 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara. Temuan jumlah peristiwa dan tindakan pada tahun ini menunjukkan angka yang relatif konstan dan menuju penurunan angka peristiwa dibanding pada 2019, saat Jokowi memulai kepemimpinan periode II, yang membukukan angka 200 peristiwa dengan 327 tindakn pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

Pelanggaran KBB oleh aktor negara paling banyak dilakukan oleh pemerintah daerah? (47 tindakan), kepolisian (23 tindakan), Satpol PP (17 tindakan), institusi pendidikan negeri (14 tindakan), Forkopimda (7 tindakan). Sedangkan pelanggaran KBB oleh aktor non-negara paling banyak dilakukan oleh warga (94 tindakan), individu (30 tindakan), ormas

1. SETARA Institute mendefinisikan peristiwa sebagai suatu kejadian yang terjadi di satu hari yang sama, sedangkan tindakan adalah variasi aktor pelanggar KBB dan variasi kategori tindakan yang terjadi dalam satu peristiwa. SETARA Institute mengkategorisasi pelanggaran menjadi peristiwa dan tindakan karena satu peristiwa pelanggaran KBB dapat mencakup satu atau lebih dari satu tindakan pelanggaran KBB.

2. Pemerintah daerah mencakup gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah. Adapun cakupan perangkat daerah merujuk pada Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, yaitu hingga lingkup kecamatan. Dalam kajian SETARA Institute, pemerintah desa tidak termasuk perangkat daerah dan pemerintah daerah, dan dikategorikan terpisah sebagai pemerintah desa.

keagamaan (16 tindakan), MUI (16 tindakan), dan Forum Kerukunan Umat Beragama/FKUB (10 tindakan). Masuknya FKUB sebagai top 5 aktor nonnegara dengan pelanggaran KBB terbaryak menunjukkan bahwa alih-alih menjalankan peran fasilitasi pendirian rurnah, cukup banyak FKUB yang masif pasif dan justru mempersulit persyaratan pendirian tempat ibadah.

Il. Hignlight dan Tren Peristiwa

Secara umum, terdapat tiga highlight kondisi KBB 2022. Pertama, tren pelanggaran pada 2022 menunjukkan kasus gangguan tempat ibadah terus mengalami kenaikan yang signifikan dalam enam tahun terakhir. Sepanjang tahun 2022, terdapat 50 tempat ibadah yang mengalami gangguan. Temuan ini adalah angka yang cukup besar bila dibandingkan dengan lima tahun terakhir, yaitu 44 (2021), 24 (2020), 31 (2019), 20 (2018) dan 16 (2017). Dari 50 rumah ibadah yang mengalami gangguan pada tahun 2022, sebanyak 21 menimpa gereja (18 gereja Protestan dan 3 gereja Katolik), 16 menimpa masjid, 6 menyasar wihara, 4 menimpa musala, 2 menarget pura, dan 1 terjadi pada tempat ibadah penghayat.

Kedua, tren pelanggaran pada 2022 juga menunjukkan penggunaan delik penodaan agama mengalami peningkatan cukup signifikan, yaitu dari 10 kasus pada tahun 2021 menjadi 19 kasus pada tahun 2022. SETARA Institute memposisikan penggunaan delik penodaan agama dalam suatu peristiwa adalah pelanggaran, karena seharusnya delik penodaan agama tidak digunakan oleh penegak hukum dan seharusnya dihapus dari khazanah hukum Indonesia. Ketiga, penolakan ceramah untuk pertama kalinya muncul sebagai top 5 (lima teratas) pelanggaran KBB oleh aktor non-negara. Penolakan ceramah mengalami kenaikan sangat pesat dibanding tiga tahun terakhir, dari masing-masing 1 peristiwa pada tahun 2020 dan 2021 hingga menjadi 14 peristiwa pada tahun 2022.

Tingginya kasus gangguan tempat ibadah ?, penodaan agama, dan penolakan ceramah juga tercermin dari masuknya tindakan-tindakan seputar tiga kasus tersebut dalam lima teratas (top 5) tindakan pelanggaran terbanyak sebagaimana dapat dilihat pada paragraf selanjutnya.

INI. Detail Tindakan

Lima tindakan pelanggaran KBB terbanyak yang dilakukan oleh aktor negara adalah diskriminasi (40 tindakan), kebijakan diskriminatif (25 tindakan), pelarangan usaha (18 tindakan), penolakan pendirian tempat ibadah (13 tindakan), dan pentersangkaan penodaan agama (10 tindakan). Pada tahun 2022 ini, penolakan pendirian tempat ibadah menempati peringkat 3 besar dan menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan data tiga tahun terakhir. Mayoritas penolakan pendirian tempat ibadah didasarkan pada belum terpenuhinya atau deviasi pemaknaan syarat pendirian tempat ibadah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006, yang mensyaratkan 90 pergguna tempat ibadah dan 60 dukungan dari warga setempat. Sedangkan dalam kasus-kasus lainnya, meskipun persyaratan tersebut sudah terpenuhi, tetapi penolakan dari masyarakat setempat masih terus terjadi, sehingga tempat ibadah tetap tidak diizinkan untuk dibangun. Hal ini terlihat dari kasus Gereja HKBP Maranatha di Cilegon, Masjid Tagwa milik Muhammadiyah di Bireuen Aceh, dan GPIB Pancoran Rahmat di Kota Depok.

Sedangkan enam tindakan pelanggaran KBB terbanyak yang dilakukan oleh aktor non-negara mencakup penolakan pendirian tempat ibadah (38 tindakan), intoleransi (37 tindakan), pelaporan penodaan agama (17 tindakan), pelarangan ibadah (15 tindakan), penolakan ceramah (14 tindakan), dan perusakan tempat ibadah (7 tindakan).

IV. Korban Pelanggaran

Sepanjang tahun 2022, SETARA Institute mencatat pelanggaran KBB paling banyak dialami oleh individu (41 peristiwa), warga (34 peristiwa), umat Kristiani (33 peristiwa: 30 peristiwa dialami umat Kristen dan 3 peristiwa dialami umat Katolik), pengusaha (19 peristiwa), pelajar (13 peristiwa), umat Islam (12 peristiwa), umat Buddha (7 peristiwa), Jemaat Ahmadiyah Indonesia (6 peristiwa), dan penghayat kepercayaan (6 peristiwa).

V. Sebaran Wilayah Terjadinya Pelanggaran

Ditinjau dari sebaran peristiwa pelanggaran, terdapat pergeseran tren di mana Jawa Timur menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan pelanggaran KBB terbanyak dengan 34 peristiwa pelanggaran. Jawa Timur untuk pertama kalinya menggeser Jawa Barat yang selalu konsisten menempati posisi pertama sejak pertama kali SETARA Institute merilis data KBB pada tahun 2007. Penyumbang terbanyak pelanggaran di Jawa Timur adalah penolakan ceramah (8 peristiwa), penolakan pendirian tempat ibadah (6 peristiwa), kebijakan diskriminatif (4 peristiwa), dan pelaporan penodaan agama (3 peristiwa). Setelah jawa Timur, diikuti oleh Jawa Barat (25 peristiwa), DKI Jakarta (24 peristiwa), Banten (11 peristiwa), Jawa Tengah (11 peristiwa), Sumatera Utara AN peristiwa), Nanggroe Aceh Darusalam (7 peristiwa), Kalimantan Barat (7 peristiwa), dan Nusa Tenggara Barat (6 peristiwa).

Dalam pandangan SETARA Institute, naiknya posisi Jawa Timur menjadi peringkat pertama provinsi pelanggaran KBB terbanyak setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, masih kuatnya stigma terhadap tradisi agama-agama atau kebudayaan leluhur yang menyebabkan beberapa kelompok melakukan aksi-aksi penolakan terhadap tradisi agama atau kebudayaan lelunur tersebut, seperti penolakan maupun perusakan sesajen dan dupa. Kedua, di sisi yang lain, kuatnya organisasi Nahdlatul Ulama di Jawa Timur memperkuat soliditas penolakan terhadap penceramah-penceramah yang selama ini dikenal mengancam kemajemukan (pluralisme) dan praktik keagamaan yang melekat dengan budaya Nusantara yang dijunjung oleh Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, dalam perspektif HAM, penolakan-penolakan ceramah tetap merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat, sehingga tetap tidak dapat dibenarkan. Terakhir, data pemantauan SETARA Institute juga menunjukkan bahwa penolakan pendirian tempat ibadah menjadi salah satu pelanggaran KBB yang paling banyak terjadi di Jawa Timur. Hal ini menjadi pengingat bagi Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk memperkuat kepemimpinan toleransi dalam tata kelola kebinekaan.

Adapun bergesernya posisi Jawa Barat dari peringkat satu ke peringkat kedua dimungkinkan disebabkan oleh tidak aktifnya organisasi Front Pembela Islam (FPI), yang tampak memberikan efek jera bagi pengikutnya untuk tidak menjalankan ‘dakwah’ sehingga berkontribusi terhadap menurunnya jumlah pelanggaran KBB di provinsi tersebut. Meskipun pembubaran FPI bertentangan dengan prinsip HAM, tetapi di lapangan aksi-aksi FPI sama sekali tidak ditemukan. Seperti diketahui, Jawa Barat selama ini menjadi arena “dakwah’ utama bagi FPI dan organisasi sejenisnya, seperti Gerakan Refo mis Islam (GARIS) dan Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS).

VI. Proyeksi Tahun 2023

SETARA Institute mengamati beberapa variabel yang dapat memengaruhi kondisi KBB di tahun-tahun mendatang. Pertama, disahkannya KUHP pada Desember 2022 tentu akan berdampak pada KBB, mengingat beberapa pasal dalam KUHP tersebut masih mengedepankan perlindungan terhadap agama/kepercayaan, yang mana tidak Selaras dengan prinsip HAM yang seharusnya menjunjung perlindungan teraadap individu (orang) beragama/berkeyakinan. Kedua, potensi politisasi identitas menjelang pemilu 2024 dapat memperburuk KBB, terutama dalam bentuk persekusi terhadap kelompok-kelompok minoritas dan menguatnya kehendak politik. penyeragaman atas nama agama dan moralitas. Ketiga, kenaikan pesat kasus pelarangan ceramah terhadap ustadz maupun tokoh agama tertentu yang dipandang mengancam kemajemukan dan kritis terhadap rezim. SETARA Institute berpandangan, penanganan kebebasan berpendapat oleh aktor-aktor tertentu semestinya mengedepankan cara-cara yang selaras dengan prinsip HAM, terutama mengintensifkan narasi toleransi dan mengedepankan narasi tandingan (counter-narrative) terhadap narasinarasi kelompok/penceramah yang dipandang menganzsam kebinekaan tersebut.

VII. Rekomendasi Kebijakan

1. Presiden Joko Widodo memperkuat kepemimpinan toleransi dan mengakselerasi kebijakan tata kelola inklusif untuk memunculkan gerak pemerintahan yang masif dari pusat hingga daerah guna mengatasi permasalahan-permasalahan KBB secara efektif, termasuk gangguan tempat ibadah. Pernyataan Presiden Joko Widodo pada tanggal pada tanggal 17 Januari 2023 yang menegaskan kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) semua pemeluk agama/kepercayaan dijamin dalam Konstitusi harus ditindaklanjuti dengan kebijakan dan tata kelola konkret, sehingga memastikan seluruh jajarannya dapat menegakkan jaminan KBB dalam Kontitusi tersebut, termasuk memastikan kepala daerah patuh pada Konstitusi.

2, Pemerintah pusat dan daerah mengefektifkan penanganan kebijakan diskriminatif yang sering menjadi justifikasi bagi kelompok tertentu untuk mempersekusi minoritas. Kebijakan diskriminatif dalam berbagai bentuknya, baik yang existing dari tahun-tahun sebelumnya maupun yang terbit pada periode riset ini, telah secara nyata mengakselerasi peningkatan jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

3. Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri agar segera mengkaji ulang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM 2 menteri) No 9 dan 8 Tahun 2006. Pasal-pasal persyaratan pendirian rumah ibadah dalam PBM 2 menteri tersebut, khususnya syarat minimal 60 dukungan warga yang menuntut penegakan disiplin bahwa dukungan boleh berasal dari warga dengan agama/ kepercayaan yang berbeda, sebagaimana desain awal PBM ini.

4. Menteri Agama meninjau ulang desain dan kinerja Program Moderasi Beragama, yang saat ini telah diinstitusionalisasikan dengan pembentukan badan khusus, sehingga di lapangan tidak menimbulkan dan memicu konflik baru antarsesama agama dan antarsesama anak bangsa.

5. Menteri Dalam Negeri memastikan pengarusutamaan inclusive governance bagi pemerintahan daerah, dengan menerbitkan kebijakan khusus tata kelola yang inklusif dalam mengelola kemajemukan republik.

6. Polri agar mengintensifkan pemantauan tindakan ujaran kebencian dan hoaks, yang sering menjadi sarana untuk mempersekusi kelompok minoritas, terutama menjelang pemilu, dengan pendekatan dialogis dan preventif, sehingga tidak menimbulkan pelanggaran HAM baru pada kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Narahubung:

Syera Anggreini Buntara, Peneliti Kebebasan Beragama/Berkeyakinan

SETARA Institute, 0851 6100 0197

Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute, 0852 3000 8880

*(LI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *